Wednesday, March 28, 2012

Negeri 5 Menara

Mendengar judul di atas tentu kita ingat akan novelnya yang best seller. Film ini memang merupakan adaptasi dari novel Negeri 5 Menara karya Fuadi. Saya sih belum selesai baca novelnya sampai sekarang, tapi kalau nonton filmnya (3 minggu lalu) yang cuma 2 jam sih selesai. :D

Alif dan Randai merupakan sahabat ketika bersekolah di padang. Untuk melanjutkan sekolah di tingkat SMA mereka ingin bersekolah di sekolah negeri. Namun, orang tua Alif menginginkan anaknya melanjutkan pendidikannya di Pondok Madani, Jawa Timur. Akhirnya Alif pun mengikuti kata orang tuanya untuk bersekolah di Pondok Madani. Sedangkan Randai melanjutkan sekolahnya di sekolah negeri Bandung

Di pondok, Alif bertemu dengan teman-temannnya dari berbagai daerah di Indonesia. Ada Baso yang alim dan pandai dari Sulawesi, Raja dari Medan , Atang dari Bandung , Said dari Surabaya , dan Dulmajid dari Sumenep. Mereka selalu bersama-sama, dan karena seringnya berkumpul di bawah menara ada yang menjuluki mereka shohibul menara.

Tetapi perjalanan mereka mencari ilmu tak semudah yang diharapkan. Baso yang cerdas pada akhirnya harus berhenti dari pondok untuk menemani neneknya yang sakit. Melihat hal itu, dan karena pondok bukanlah pilihan Alif dia memutuskan untuk berhenti dari pondok. Namun akhirnya dia memilih untuk bergabung kembali bersama teman-temannya di Pondok.

Pada akhir film diceritakan ketika mereka dewasa sudah menjadi orang sukses. Alif menjadi wartawan seperti yang diinginkannya. Dan mereka bertemu di Eropa beberapa tahun kemudian.

Yang terkenal dari Negeri Lima Menara adalah kata-kata “Man Jadda wa Jadda” yang artinya barangsiapa yang bersungguh-sungguh akan berhasil. Ketika awal mulai pelajaran, Ustadz Salman memperkenalkan kata-kata itu dengan membelah kayu menggunakan semacam golok. Pada awalnya memang nggak langsung terbelah, tapi dengan usaha terus akhirnya kayu terpotong juga. Dari situ ustadz meneriakkan man jadda wa jadda yang satu per satu ditirukan oleh santrinya dan menggema dengan keras.

Adegan di atas menurut saya salah satu adegan terbaik dari film itu.

Dari film ini saya mendapat gambaran tentang kehidupan di pondok. Ternyata nggak semua yang mendaftar diterima, dan waktu belajar pun lebih lama setahun dari sekolah biasa. Di samping itu kedisiplinan di pondok juga luar biasa ketatnya.

Adegan lain yang memorable ya ketika si Baso harus pulang ke Sulawesi. Orang pintar namun karena suatu hal (mengurus neneknya) nggak bisa melanjutkan sekolahnya. Huhuhu

Yang paling saya suka sih adegan-adegan awal ketika di sumatera barat, dari bahasanya, pemandangannya, dan rumah yang lantainya dari kayu semua itu mengingatkan dengan rumah nenek saya di padang yang kini telah kosong tanpa penghuni. *Semoga dalam 5 tahun kedepan saya bisa menginjakkan kaki lagi ke sana.*

Sayangnya saya masih merasa ada yang kurang di film ini yaitu keseluruhan penggambaran cerita di film sehingga maksud dari film kurang tersampaikan. Gaung man jadda wa jadda juga kurang banyak digambarkan di film, tiba-tiba aja mereka udah sukses entah gimana caranya habis pertunjukkan di pondok itu.

Tapi secara keseluruhan film ini much way better daripada film-film tanpa “isi” lainnya.



No comments: